Jumat, 14 September 2018

Arbitrase Sebagai Ranah Penyelesaian Perselisihan bagi Pelaku Bisnis yang Beritikad Baik dan Bertanggung Jawab

Penulis : Saptarini

GLOBALISASI dan MEA membuat perjanjian kerjasama bisnis menjadi semakin kompleks karena melibatkan hukum berbagai negara, beragam pihak baik antar pelaku bisnis, lembaga pemerintah dengan pebisnis, bahkan antar badan usaha pemerintah.

Penafsiran perjanjian dalam pelaksanaan kerjasama tidak jarang berbuntut perselisihan dan sengketa.

Dinamika perubahan yang dipicu juga oleh kemajuan teknologi informasi, membuat penyelesaian sengketa yang cepat, adil dan mampu menjaga reputasi bisnis semakin dibutuhkan dunia usaha.

Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Proses yang cepat, sederhana, memadukan negosiasi-mediasi dan keputusan yang final dan mengikat, sifat pemeriksaan yang tertutup, arbiter yang berasal dari beragam profesi, bukah hanya hukum, namun juga mempunyai keahliah yang sesuai dengan pokok perkara yang diperiksa, biaya terukur, membuat arbitrase makin disukai oleh para pelaku bisnis.

Data BANI yang merupakan lembaga arbitrase tertua di Indonesia,  menunjukkan dalam satu dekade terakhir kenaikan penggunaan arbitase di BANI meningkat hampir 400%. Data itu belum termasuk perselisihan yang ditangani badan arbitrase lain seperti pasar modal, syariah, konstruksi dll.

Dalam proses arbitrase, para pihak menyepakati sendiri mekanisme penyelesaian sengketa, memilih sendiri arbiternya.

Karena itu tercapainya penyelesaian sengketa yang sesuai dengan hukum, keadilan dan kepatutan yang menjadi tujuan penyelesaian sengketa melalui arbitrase,  bukan saja tergantung dari profesionalisme, reputasi dan integritas para arbiter, sebagaimana tercermin dalam etika arbiter, namun juga tergantung dari itikad baik dan etika para pihak.

Prinsip dan mekanisme arbitase yang sebagaimana dikemukakan di atas sangat sejalan dengan prinsip dan value perusahaan yang menjalankan atau instansi yang peduli Sustainable Development.

The World Commision of Environment and Development (WCED) di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyampaikan laporan berjudul “Our Common Future”, yang kemudian disebut juga Laporan Brundtland.

Dokumen ini mengenalkan untuk pertama kalinya istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable development), salah satu point pentingnya menyatakan, sustainable development is development that meets the needs of the present without comprommising the ability of future generation to meet their own needs.

Konsekwensi logis dari perusahaan, instansi atau lembaga yang mematuhi konsep itu adalah, pelaku pembangunan termasuk pemerintah dan pengusaha, bukan hanya sekedar punya kemampuan ekonomi, namun juga harus taat hukum dan  menjalankan binis secara etis.

Perilaku etis ini bukan hanya kepada masyarakat, namun termasuk juga pada para shareholder dan mitra kerja.

Pemikiran ini sejalan dengan pandangan Archie B. Caroll, salah seorang Professor dari the University of Georgia, memperkenalkan teori the ‘Four-Part Model of Corporate Social Responsibility, dengan menyatakan “Corporate social responsibility encompasses the economic, legal, ethical, and discretionary (philanthropic) expectations that society has of organizations at a given point in time”.

Teori itu yang dibangun oleh Caroll tersebut merekomendasikan adanya empat tanggung jawab perusahaan, yakni tanggung ekonomi (economic), hukum (legal), etika (ethical) dan filantropi.

Keempat aspek tanggungjawab tersebut diilustrasikan dalam bentuk piramida yang masing-masing tanggung jawab berada dalam sebuah lapisan yang berurutan.

Dalam hirarki itu, tanggung jawab ekonomi menempati posisi paling dasar, diikuti tanggung jawab hukum, etika dan filantropi, dan keempat komponen CSP itu adalah agregatif, jadi bila perusahaan ingin menjalankan tanggung jawab filantropi, berarti mereka terlebih dahulu telah memenuhi tanggung jawab ekonomi,  hukum dan etika.

Etika berasal dari kata “ethos” dalam bahasa Yunani berarti kebiasaan (customs), dalam KBBI dikatakan, sebagai  ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. Moral berasal dari kata “mores” dalam bahasa Latin yang juga berarti kebiasaan.

Dapat dikatakan, bahwa etika adalah kebiasaan untuk berfikir, berbuat dan bertindak baik. Kebiasaan yang dilakukan terus menerus dalam organisasi, menjadi budaya yang kokoh, termasuk kebiasaan untuk beritikad dan bertindak baik terhadap para stakeholdernya.

Perusahaan swasta maupun BUMN, pelaku bisnis, baru dikatakan melaksanakan CSR, jika  perusahaan telah mengintegrasikan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi dalam proses bisnisnya dengan melibatkan stakeholder.

Perusahaan, lembaga pemerintah, NGO baru dikatakan peduli Sustainable Development apabila melaksanakan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang.

Namun sesungguhnya landasan awal untuk sampai pada pilihan moral melaksanakan tanggungjawab sosial atau CSR yang peduli Sustainable Development hanya bisa tercapai jika para pelaku usaha dan lembaga pemerintah yang bekerjasama dengan pebisnis, membentuk landasan operasionalnya bukan sekedar dengan membentuk landasan ekonomi yang kokoh, namun juga ketaatan terhadap hukum dan etika.

Dengan kebiasaan pelaku bisnis baik perusaan berskala besar, menengah bahkan start up atau UKM, pada perusasahaan swasta maupun BUMN maupun di instansi pemerintah sebagai pelaku pembangunan, akan meminimalkan terjadinya sengketa dalam perjanjian kerjasama.

Jika terjadi perselisihan, maka lebih akan disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran klausul dan pelaksanaan perjanjian yang juga akan mudah diselesaikan dalam itikad baik dan etika para pihak.

Para pelaku usaha yang peduli terhadap CSR atau SD, sangat menjunjung tinggi reputasi dan nama baik, karena itu prinsip-prinsip yang berlaku dalam proses arbitrase sangat sejalan dengan kehendak itu.

Mulai dari prinsip otonomi yang memberikan kebebasan para pihak untuk memilih forum, tempat dan hukum yang berlaku, arbiter, hingga bahasa. Prinsip pemeriksaan yang bersifat "private and confidential"; prinsip limitasi waktu proses arbitrase; Prinsip pembuktian; Prinsip putusan arbitrase dan pendapat mengikat (binding opinion) bersifat  "final and binding".

Prinsip religiusitas putusan arbitrase; Prinsip putusan arbitrase berdasarkan hukum atau berdasarkan "ex aequo et  bono"; hingga prinsip ketertiban umum dalam pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase  internasional; sangat sejalan dengan kebiasaan, nilai, kultur pada perusahaan-perusahaan yang berkomitmen menjalankan tanggung jawab sosial perusahaan.

Penerapan prinsip-prinsip dasar arbitrase pada dasarnya merupakan kewajiban, sekaligus tanggung jawab, bagi semua pihak yang terlibat dalam proses arbitrase. Betapapun idealnya prinsip-prinsip dasar arbitrase, akan menjadi kehilangan makna dan hakekatnya apabila dalam prakteknya tidak dijalankan sebagaimana mestinya.

Sejalan dengan hal tersebut, kultur dan etika yang dikembangkan dikalangan pelaku usaha dan pelaku pembangunan yang peduli CSR, sangat mendukung dan sejalan dengan prinsip-prinsip dan tujuan arbitrase.

Data BANI menunjukkan, dari lebih 1000 perkara yang ditangani BANI, hanya 3 yang keputusan dibatalkan pengadilan, itupun karena adanya data yang tidak dikemukakan para pihak.

Dengan landasan itikad baik, etika dan tanggungjawab moral para pihak dalam perjanjian, keputusan arbitrase, khususnya  di BANI nyaris tidak membutuhkan eksekusi  pengadilan.

Maka hanya pelaku bisnis yang beritikad baik yang bermita dengan pelaku bisnis yang juga beritikad baiklah yang akan berani memilih proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

Jangan memilih arbitrase, jika anda sebagai pelaku bisnis ata pelaku pembangunan tidak beritikad baik, tidak berperilaku etis. (*)

0 komentar:

Posting Komentar

 
;